“BAGIKU
TUAK ITU HAL YANG SPESIAL
DALAM
HIDUPKU”
Jika aku kembali, mengingat masa kecil yang
memang memiliki segudang pengalaman yang menarik dan mengudang decak tawa. Dulu
aku memang bisa dikategorikan orang yang pandai dalam melafalkan bahasa inggris
yang pada saat itu sedang trend untuk mempelajari bahasa tersebut. Puncaknya, ketika aku ikut dalam rekreasi
dalam acara perpisahan anak-anak kelas VI SD, tujuan acara tersebut berpusat
pada pulau samosir, tepatnya tuk-tuk. Pada masa itu, tuk-tuk merupakan objek
wisata yang banyak dikunjungi oleh turis-turis asing yang berniat untuk
menikmati keindahan alam tuk-tuk dan sekaligus panorama danau toba. Alhasil,
sebagai bocah-bocah yang lugu dan sedikit penasaran, kami mencoba untuk
mendekatkan diri dengan para turis yang sedang lalu-lalang di depan mata kami,
namun, niat yang sudah menggebu-gebu di otak, tak jua dapat tersalurkan, karena
kebanyakan dari kami tak begitu berani untuk mencobanya, ditambah lagi
kemampuan bahasa inggris kami yang tidak begitu enak didengar telinga.
Menunggu beberapa jam itu hal yang membosankan
untuk segera dapat berkenalan dengan salah satu turis yang sedang asyik
berjalan sambil menikmati keindahan alam yang ditawarkan panorama tuk-tuk, aku
orang yang tak suka dengan suasana seperti ini, segera saja aku menyapa turis
yang sedang memandang aku dengan sorot mata yang cukup menenangkan pikiranku.
“sir, can I talk with U ?, just five minutes
!” seruku.
“of course baby, what’s your name ?” dia
bertanya kembali padaku.
“my name is putra, what about U?” tanyaku
balik.
“my name is jhon”
“my name is jhon”
Hampir 30 menit lamanya kami berbicara tentang
identitas diri masing-masing serta keadaan negeri si turis “jhon” yang berasal
dari Amerika Serikat. Sebelum akhirnya dia pamit pergi dari saya, dia
memberikan saya uang sebesar lim a puluh ribu rupiah, “alamak, baru kali ini
aku pernah menyentuh uang sebesar ini” seruku dalam hati. Si turis “jhon” pun
akhirnya pergi berlalu dan meninggalkan aku yang masih tertegun tak percaya
dengan apa yang baru saja aku dapatkan dari orang yang baru saja aku kenal
lewat bahasa inggrisku yang sedikit lucu.
Sorakan kawan-kawanku membuatku sadar dari
lamunanku, “wuih... dasar anak pintar, dapat uang pula” ejek kawanku dengan
nada-nada cemburu kepadaku. Uang lima puluh ribu sudah ditangan, aku berniat
untuk menabungnya untuk membeli sepeda kelak, jika sudah cukup uang tabunganku
untuk membeli sepeda baru yang sudah lama aku idam-idamkan. Namun, “pucuk di
cinta, teman pun minta bagian” huh.... kesal juga ama omelan kawan-kawan yang terus
minta bagian dari jatah yang kudapatkan
diriku sendiri. Tapi, yang namanya kawan, tetap juga susah untuk menolak
permintaannya, akhirnya kami membelanjakan uang tersebut untuk membeli kerupuk,
kerupuk yang dijual pun harganya selangit, sekitar sepuluh ribu untuk satu
bungkus, lalu aku pesan dua saja, karena aku masih ingin menyisakan
kembaliannya untuk tabunganku.
Tak lebih dari 50 menit, saat asyiknya kami
menikmati kerupuk itu dan guru-guru kami sedang asyiknya mandi-mandi di pantai,
tiba-tiba saja salah seorang kawanku “bad overland in underwear” (berak
celana), memang dasar bocah kelas VI SD yang masih amatir. Kali ini, tak
seperti kejadian-kejadian di sekolah yang selalu ribut dengan sorakan mengejek
jiak terjadi insiden seperti ini, karena, kami sudah terlebih dahulu
diperingatkan oleh ibu kepala sekolah untuk tidak mengeluarkan suara-suara yang
mengganggu kenyamanan orang lain di tempat tujuan wisata. Rasa iba melihat si
kawan akhirnya muncul, lalu aku dan dua orang lainnya segera melapor kepada
guru kelas, namun. Bukannya bantuan yang kami dapat, malah omelan-omelan yang
dikeluarkan guru kelas “ dasar ... malu-maluin saya aja, cepat pergi sendiri ke
kamar mandi, bersihin tuh oo mu” celetuk bu guru. Akhirnya, kami memutuskan,
untuk menemanimya ke kamar mandi yang jaraknya agak jauh dari tempat kami
bersantai tadi. Namun, lagi-lagi hal sial yang kami dapat. Ternyata si kawan
tidak membawa pakaian atau celana satupun, karena memang, kami tidak dianjurkan
untuk membawa karena acara wisatanya hanya berangkat pagi dan pulang sore hari.
Kulirik wajah si kawan tampak gelisah sekali bercampur malu, namun insting dan
pikiran cerdasku segera bekerja, lalu aku pergi membeli celana untuk si kawan
yang sedang “bad overland in underwear” ke salah satu toko yang sedang buka
pada saat itu, lalu aku kocek lagi sakuku, syukur masih ada uang tadi, lalu aku
tanya berapa harga celana dengan ukuran paling kecil yang dipajang di hangeran
si penjual, si penjual menjawab “Rp. 17.400” jawabnya, segera saja aku lunasi,
karena aku tahu, sikawan yang sedang “bad overland in underwear” tidak akan
sanggup untuk membelinya. Dengan senang hati si kawan mengenakan celana yang
baru kubelikan untuknya, walau tampak tak cocok dengannya, namun wajahnya masih
bisa tersenyum dan jauh lebih baik daripada saat insiden terjadi.
Kini uang si turis hanya tersisa Rp. 12. 600,
“masih ada untuk tabunganku” seruku dalam hati. Kejadian itu memang tak bisa
kulupakan, disamping masa tersebut sangat lucu untuk dikenang, ada juga saat
aku mahir dalam conversation. Tapi, kini setelah aku dewasa, rasanya
kemahiranku dalam berbahasa inggris kini sudah pupus, jangankan setengahnya
tapi 20 persen saja, rasanya aku tak mampu lagi. Pernah pula aku jumpa teman
kelas SD ku dulu, sekarang sudah menjadi guru privat bahasa inggris, entah
siapa duluan yang menyapa , puncaknya dia menanyakan segala kenangan masa lalu
kami sewaktu masih duduk di bangku kelas VI SD, namun menggunakan bahasa
inggris yang begitu kental, tapi apa daya semua kata-kata yang keluar dari mulutnya
tak semua dapat aku mengerti dengan jelas, malah aku pusing setengah mati.
Akhirnya, aku menyerah “ aku sudah tak fasih lagi dalam bahasa inggris seperti
dulu lagi din” (namanya dina).
“loh, kenapa put ???” tanyanya padaku.
“entah kenapa, sekarang aku tak bisa lagi
menggunakan bahasa inggrisku din, rasanya sudah hambar”
Dengan banyak basa-basi, dia menyimpulkan
bahwa aku terlalu banyak nongkrong di lapo tuak yang sama sekali tak pernah
menggunakan bahasa inggris. Namun aku tak pernah menyesali apa yang diucapkannya,
walau aku kehilangan kemampuan bahasa inggrisku, tapi aku banyak tahu hal-hal
yang sebelumnya tak pernah aku ketahui dalam hidup ini. Semua itu berkat
pergaulan dalam suasana hangatnya lapo tuak. Bahkan, jujur saja, sifat
kedewasaan dalam diriku, justru datang dari lapo tuak, memang semua ini tak
masuk akal, tapi itulah garis kehidupanku.
Awal
dari perkenalanku dengan kehidupan lapo tuak sudah berkisar 7 tahun silam,
dimana aku masih duduk di bangku kelas II SMP, semua itu terjadi hasil dari
pergaulanku yang kurang baik dengan orang-orang yang aku kenal bersifat buruk
dalam bergaul dan bahkan terlalu sering meresahkan banyak orang. Tapi pergaulan
seperti inilah yang akhirnya membuat aku tertarik dan terjerumus dalam lembah
premanisme yang tak akan pernah aku lupakan seumur hidup. Memasuki masa-masa
SMP, sangat jelas perubahan yang terjadi dalam diriku, dulunya aku anak yang
lucu kini berubah menjadi anak liar, karena memang aku yang berasal dari
kampung-kampung yang tak memiliki apa-apa, kini mengecap asyiknya kehidupan
anak-anak kota siantar. Walau masih berseragam kelas II SMP, aku sudah giat
merokok. Mungkin tak ada lagi merek rokok yang tak aku coba pada masa SMP.
Nakal, bandal, dan berbahaya menjadi santapanku setiap hari jika aku memasuki
ruangan kelas, namun walau berandal, otak dalam kepalaku masih tetap bisa eksis
dalam melunakkan setiap mata pelajaran yang disajikan guru-guru yang masuk ke dalam kelasku,
alhasil, aku bisa bertahan dalam kelas unggulan yang menjadi primadona bagi
setiap siswa di sekolahku, disamping kelas favorit yang dikerumuni orang-orang
pintar, tapi juga kelas khusus yang mendapatkan jatah les sore tambahan tanpa
biaya tambahan lain.
Merokok sudah menjadi hal biasa bagiku, karena
memang aku sanggup membeli sebungkus rokok tiap harinya, biayanya aku ambil
dari uang SPP/uang sekolah tiap bulan yang tak pernah aku setor ke tata usaha.
Jika uang SPPku tak mencukupi untuk membeli rokok, biasanya aku dan
teman-temanku bolos dari sekolah dan berkumpul di pajak horas, tujuannya untuk
menyusun strategi untuk meminta paksa uang dari anak sekolah yang nantinya
lewat dari depan kami. Strategi kami memang jitu, begitu melihat anak sekolah
lewat, kamipun mendekat dan akhirnya kami memalak dari anak sekolah yang tak
tahu apa-apa. Mangsa atau korban palak,
sangat mudah untuk didapatkan. Ditambah lagi dengan pakaian kami yang
serba menakutkan, akan membuat korban semakin mudah untuk terkecoh, ini memang
dosa yang sangat berat jika aku ingat kembali, bahkan jika suatu saat aku
bertemu dengan salah satu korban yang aku palak, aku pasti akan minta maaf.
Kegiatan ini rutin kami lakukan, dan sekolah jarang kami kunjungi. Bahkan
pernah suatu saat, kami dekejar polisi yang sedang razia anak sekolah, namun
berkat olahraga yang kuat kami bisa melarikan diri dari kejaran polisi-polisi
yang rata-rata perutnya buncit semua. Tertangkap oleh polisi sudah menjadi hal
biasa bagi ku, toh hukumannya hanya sebatas berjemur di halaman kantor polisi.
Namun, pernah suatu saat terjadi kenangan pahit yang tidak bisa aku lupakan,
dimana saat kami asyik lari dari kejaran polisi, tiba-tiba terdengar suara
tembakan pistol “doorrr...” suara itu begitu jelas tertangkap oleh telingaku
dan begitu dekat, dan sesaat kemudian aku mendengar jeritan kesakitan salah
satu temanku, “astaga, ternyata kaki temanku menjadi sasaran tembakan polisi
itu”. Karena ketakutan, akhirnya, kami menghentikan niat kami untuk terus
melarikan diri dari kejaran polisi-polisi jumlahnya 4 orang tersebut. Namun,
dasar otakku yang selalu aktif terus bekerja tanpa lelah ini, berhasil
memberikan ide padaku agar tidak ikut terjaring oleh kawanan polisi yang
berbadan tegap itu, kulihat ada paret kecil yang muat untuk ukuran badanku yang
saat itu memang badanku masih kecil, lalu aku masuk secara perlahan-lahan, saat
polisi-polisi itu sedang sibuk membantu temanku yang sedang sekarat. Aksiku ini
tidak diketahui oleh temanku yang lain, karena mereka sudah sangat ketakutan.
Dan tak berniat untuk melarikan diri lagi. Dan hasilnya aku berhasil sembunyi
di dalam paret yang pengap dan bau itu, tapi, aku bersyukur bisa meloloskan
diri saat itu, jika tidak, aku bisa bernasib buruk seperti kawan-kawanku yang
ikut tertangkap polisi, dimana mereka akhirnya dipecat dari sekolah mereka
masing-masing. Dan kabarnya, banyak diantara mereka yang tidak melanjutkan
sekolahnya lagi.
Sekitar bulan desember, dimana aku masih duduk di bangku kelas III SMP,
aku dipanggil oleh guru kepala sekolah, dengan maksud tidak mengijinkanku untuk
ikut ujian akhir semester. Hal itu disepakati oleh guru-guru sekolah, bukan
karena kenakalanku yang merepotkan banyak guru, namun, karena persoalan uang
sekolah yang tak pernah aku setor ke Tata Usaha, genap selama satu tahun.
Masalah ini membuatku menjadi frustasi, karena terus terang aku takut tidak
bisa ikut ujian dan terancam dipecat dari sekolah, ditambah lagi, jika
orangtuaku mengetahui hal ini. Akhirnya, kuputuskan untuk mencari solusi kepada
taman-teman gengku, tapi bukan solusi yang aku dapat, malah aku dibawa untuk
menikmati “tuak”. Aku yang saat itu sedang stres, langsung aku terima saja
tawaran teman-temanku. Disinilah aku mulai mengenal rasanya tuak. Pada saat itu
aku benar mabuk berat dan tak bisa pulang, dan aku menginap di rumah salah satu
temanku, akibatnya, orantuaku mencariku kemana-kemana, karena tak ada kabar
yang aku berikan pada mereka sejak berangkat sekolah dari rumah. Mama dan
abangku ternyata datang ke sekolahku, untuk mencari tahu keadaanku, dan habis
sudah, mereka akhirnya mengetahui apa yang terjadi dengan diriku. Esoknya, aku
pulang ke rumah seperti biasa dan tanpa mengetahui, bahwa seisi rumah sudah
menaruh dendam padaku. Saat aku masuk dari pintu, tiba-tiba saja, abangku
menendangku dan aku terjatuh lemas, sekali lagi abangku tampaknya tidak puas
hanya dengan menendangku, dia ingin menghabisiku, tangan yang kekar miliknya, aku lihat dia
kepal kuat-kuat, dan aku tahu dia ingin segera menghajarku lagi, namun segera
ibuku datang dan menahan amukan marah abangku yang sudah menggebu-gebu. Lalu
ibuku membentak “sudah.... adikmu itu masih kecil” syukur, akhirnya aku lolos
dari penderitaan yang benar-benar sangat mengerikan ini. Hal itu masih aku
ingat jelas sampai sekarang, bagaimana
kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya. “Mom, I love U”. Dan, akhirnya, aku
bisa kembali melanjutkan ujian sekolahku, setelah ibuku melunasi semua
tunggakan uang sekolahku selama setahun.
Setelah perkenalanku dengan nikmat dan aroma khas “tuak”, akhirnya
membuatku tertarik dan membuatku ketagihan untuk terus menikmatinya, bahkan
banyak hal yang bisa kudapat dari sekedar menikmati “tuak”. Memang kelihatan
sangat aneh bagi banyak orang, sebagai bocah kelas III SMP sudah sering
nongkrong di “lapo tuak”, tapi, terus terang aku tak peduli dengan omelan dan
ocehan bayak orang kepada diriku, bagiku itu hanya penilaian yang buruk dan
benar-benar salah. Berteman dengan orang-orang yang sudah berumur dan tua,
membuat ku pula menjadi dewasa, semua hal-hal yang berbau kenakalan, kebrutalan
mulai kuhilangkan secara perlahan-lahan, karena semua orang-orang yang kukenal
dari “lapo tuak” tak henti-hentinya menasehatiku terus-menerus, dari
nasehat-nasehat itu pula, aku menjadi tahu bagaimana susah-senangnya hidup ini
yang mereka ceritakan dari pengalaman mereka sendiri. Mereka yang semula
menganggapku sebagai bocah nakal, kini mulai bersahabat denganku, dulu mereka
mengejekku, kini mereka justru merindukanku jika aku aku tak datang ke “lapo
tuak” barang semalam saja.
Hampir semua pelanggan lapo tuak senang melihatku, selain aku suka
bercanda pada mereka, juga karena kemampuanku dalam bermain gitar serta suaraku
yang sedikit berbobot. Bahkan, setiap malam aku menjadi gitaris sekaligus
penghibur bagi mereka yang sudah lelah seharian bekerja di ladang mereka
masing-masing. Alhasil, aku sering minum gratis, walau sebenarnya aku tolak,
tapi, tak bisa, karena memang mereka ikhlas untuk membayarnya. Pernah pula
suatu saat, ketika aku menyanyikan lagu yang benar-benar sangat sedih ditambah
lagi dengan suaraku yang cukup mengimbangi alunan gitarku.
“dalan narais mapuppu dilaosi ho
“dalan narais mapuppu dilaosi ho
Loja ho inang, lao pature-ture au,
So sangan tahe di dai ho nasonangi,
Holan lao pature-ture au
dainang..............” judulnya jika tidak salah “dainang” yang dipopulerkan
oleh Joel Simorangkir. Lagu ini benar-benar sangat menyentuh hatiku, dan
membuatku untuk berjanji dalam hati “tidak akan melakukan hal-hal yang tidak
disenangi oleh ibuku, dan berusaha untuk menjadi yang terbaik bagi ibuku” love
U Mom. Begitu selesai aku menyanyikan lagu tersebut, tiba-tiba saja, seorang
bapak mengangkat tangannya padaku dan memberiku “kartu merah”, aku yang masih
larut terbawa suasana lagu tersebut, tentu menjadi bingung, namun setelah aku
perjelas lebih dekat lagi, ternyata “kartu merah” tersebut, bukan sembarang
kertas, melainkan uang sungguhan seratus ribu. Aku yang kegirangan segera saja
mengambilnya dan memasukkannya ke dalam kantong, karena saat itu uang sebesar
itu baru pertama aku miliki semasa kelas III SMP. Lalu, bapak itu, yang
belakangan aku tahu dia marga simanjuntak, menjelaskan, bahwa sangat tersentuh
dengan iringan lagu yang baru saja aku nyanyikan.
Beranjak ke masa SMA, aku benar-benar meninggalkan kenakalan-kenakalan
yang pernah aku lakukan semasa SMP, dan hobi minum tuak tetap berjalan mulus.
Bahkan, pada masa itu, aku jadi banyak tahu sejarah-sejarah batak,
adat-istiadat, serta banyak hal yang menyangkut budaya batak, yang semua itu
tidak banyak diketahui orang-orang seusiaku. Semua itu aku peroleh dari
pergaulanku dengan sesama penikmat “tuak”. Dari kebiasaan ini pula, aku
mengerti bagaimana perjuangan ibuku dalam memenuhi semua kebutuhanku, serta
pahitnya dalam mencari nafkah, dan juga bagaimana menghormati orang yang lebih
tua dari kita, terlebih orang tua kita sendiri.
Kesimpulannya, aku tidak pernah menyesali,
jika aku kini menjadi seorang penikmat tuak, yang kemudian mencintai budaya
batak itu sendiri dan pengetahuan mengenai batak, walau kini aku sudah tak
fasih lagi dalam berkomunikasi dalam bahasa inggris. Toh, aku ini orang batak,
bukan orang inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar